Contoh
Perusahaan yang melakukan bisnis dengan etika
Kisah-kisah
seputar pohon yang sudah saya utarakan disini dan disitu, ternyata
sejalan dengan sebuah program menarik yang digagas dan dilaksanakan oleh PT
Djarum : Trees For Life. Sebuah program yang merupakan bagian dari kegiatan CSR
(Corporate Social Responsibility) perusahaan rokok terkemuka tersebut sebagai
bentuk dari tanggung jawab sosial serta empati konstruktif perusahaan terhadap
masyarakat dan lingkungan.
Yang
menarik adalah, sejak tahun 1979, perusahaan ini telah mendedikasikan diri
untuk melestarikan lingkungan demi hidup yang berkualitas dengan program Djarum
Bhakti Lingkungan. Kota Kudus adalah langkah awal dari program ini. Ribuan
jenis tanaman peneduh ditanam.
Selain
itu, dibawah payung Djarum Bakti Lingkungan telah melakukan aksi pelestarian
lereng Gunung Muria dengan tanaman peneduh maupun pohon bernilai ekonomi,
sehingga mampu mempertahankan kawasan penting resapan air kota Kudus. Selain
itu sejak tahun 2008 Djarum BaktiLingkungan bekerja sama dengan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Jawa Tengah, turut serta dalam program
pelestarian Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo dengan komitmen
700.000pohon.
Sebagaimana
diungkap pada siaram
persnya, Dalam rangka Hari Ulang Tahun PT. Djarum ke-59, pada
tanggal 18 April 2010 lalu, sebanyak 400 karyawanDjarum di Kudus bersama Luna
Maya, artis pemerhati lingkungan, menanam Pohon Trembesi sepanjang1,2 km di
Demak, Jawa Tengah. Kegiatan ini merupakan program lanjutan Djarum Trees For
Life, dari Corporate Social Responsibility Bakti Lingkungan PT Djarum yang
merencanakan 2.767 Pohon Trembesi sepanjang jalan Turus Semarang-Kudus Jawa
Tengah. Serius dan konsisten untuk melakukan pelestarian lingkungan adalah
semangat Djarum Trees For Lifeyang ingin ditularkan kepada seluruh pihak dan
masyarakat luas. Berawal dari penanaman Pohon Trembesi bersama Gubernur beserta
Muspida Jawa Tengah, kemudian diikuti beberapa minggu lalu penanaman bersama
artis Nugie dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan
“Saya
melihat sepanjang jalan Demak ini merupakan jalan yang sering dilewati oleh
banyak kendaraan,mulai dari kendaraan pribadi hingga truk. Oleh sebab itu,
penanaman Pohon Trembesi sangat cocok ditanam di area ini karena dapat menyerap
banyak CO2 dan emisi karbon lainnya, sehingga kedepannya jalan ini bisa menjadi
jalan yang teduh dan hijau. Saya berharap Pohon Trembesi yang kami tanam saat ini
dapat tumbuh maksimal dan tentunya dirawat oleh masyarakat luas. Mari tanam dan
rawat Pohon Trembesi” ajak Luna.
Komitmen
perusahaan juga tak berhenti pada kegiatan-kegiatan insidental tertentu belaka.
Bahkan, Bibit Pohon Trembesi yang digunakan dalam rangkaian program Penanaman
2.767 Pohon Trembesi disepanjang turus jalan Semarang-Demak ini berasal dari
Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) PT. Djarum.
Saat
ini PPT tengah melakukan budi daya pembibitan Pohon Trembesi yang total
berjumlah 300 ribuan.Rencananya, pembibitan tersebut untuk memenuhi program
Djarum Trees For Life” ujar Yunan Adityadari Pusat Pembibitan Tanaman PT
Djarum.
Untuk
menjaga kesinambungan kegiatannya, salah satu dukungan PT. Djarum adalah dengan
mendirikan pusatpembibitan aneka tanaman yang dikelola secara intensif.
Diharapkan dengan upaya pembibitan aneka tanaman ini, PT. Djarum dapat turut
menjadi bagian dari usaha dalam mempertahankan dan melestarikan tanaman-tanaman
langka agar terjaga dari kepunahan. Hingga saat ini, PPT telah memilikitotal
sekitar 100 ribuan jenis bibit tanaman, termasuk di dalamnya tanaman langka
seperti Kepel, Sawit, Nogosari, buah Kawista dan Pohon Botol dari Afrika.
“It
is true that economic and social objectives have long been seen as distinct and
often competing. Butthis is a false dichotomy…Companies do not function in
isolation from the society around them. In fact,their ability to compete
depends heavily on the circumstances of locations where they operate.”, Demikian
ungkapan Michael E. Porter dan Mark R. Kramer dalam tulisannya di “The
Competitive Advantage of Corporate Phiilantropy”, pada Harvard Business Review,
December 2002, halaman 5. Pernyataan diatas menemukan makna tersendiri
bila dihubungkan dengan aktifitas yang dilaksanakan PT Djarum Kudus lewat
program Djarum Bakti Lingkungan, Trees for Life ini.
Implementasi
atas konsep triple bottom line (profit,planet, people) dalam “mainstream” etika
bisnis yang digagas John Elkington, memperoleh bentuknya lewat kegiatan ini.
Perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar profit belaka tetapi juga
menunjukkan kepedulian besar bagi lingkungan dan masyarakat sekitar tempat
perusahaan bersangkutan beroperasi. Dengan program CSR ini tidak hanya
merupakan investasi jangka panjang yang berguna untuk meminimalisasi risiko
sosial, juga berfungsi sebagai sarana meningkatkan citra perusahaan di mata
publik. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk
meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk
pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan
berkelanjutan.
Saya
ikut menyatakan salut dan mengacungkan jempol tinggi-tinggi bagi upaya-upaya
konstruktif yang telah dilakukan sejumlah korporasi besar, termasuk PT Djarum
Kudus, melalui program CSR-nya yang sudah menunjukkan komitmen dan kepedulian
tinggi menjaga kelestarian lingkungan dengan kegiatan Trees For Life. Ini
sebentuk empati sosial nyata untuk menghindari nestapa kemanusiaan akibat
kerusakan lingkungan.
Saya
tertarik pada pendapat Elkington (1998) dalam bukunya Canibals With Forks: The
Triple Bottom Line in 21st Century Business (seperti yang saya kutip dari
makalah Bapak Edi Suharto PhD Ketua Program Pascasarjana Spesialis Pekerjaan
Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung yang
disampaikan pada Seminar Dua Hari CSR (Corporate Social Responsibility):
Strategy, Management and Leadership, Intipesan, Hotel Aryaduta Jakarta 13-14
February 2008) yang mengelompokkan perusahaan yang peduli dan tidak
peduli terhadap CSR berdasarkan analogi serangga.
Perusahaan
kategori pertama laksana ulat, yang memiliki model bisnis rakus dan tidak
pedulipada lingkungan sekelilingnya. Kategori kedua adalah perusahaan yang
mirip belalang, modelbisnis yang juga eksploitatif dan degeneratif. Kategori
kedua ini mungkin saja sudah mulai mempraktikan CSR. Tetapi, CSR tidak
dilakukan dengan sepenuh hati. CSR di perusahaan ini hanyalah ”Celana Dalam”
untuk menutupi ”aurat” perusahaan agar terhindar dari tekanan masyarakat atau
LSM.
Perusahaan
kupu-kupu adalah kategori ketiga. Korporasi seperti ini punya komitmen kuat
menjalankan CSR. Bagi perusahaan ini CSR adalah investasi, bukan basa-basi.
Kategori terakhir adalah korporasi lebah. Perusahaan seperti ini punya sifat
regeneratif atau menumbuhkan. Perusahaan ideal ini menerapkan etika bisnis dan
menjalankan good CSR.
Saya
yakin model CSR yang dikembangkan oleh PT Djarum Kudus adalah jenis korporasi
ideal yang dengan teguh memegang konsistensi empati sosialnya lewat program
Trees for Life dimana disaat yang sama ikut memelihara kelanjutan program yang
sudah dicanangkan tersebut dengan kegiatan pendukung seperti menyiapkan
bibit-bibit tanaman unggulan lewat Pusat Pembibitan Tanaman yang dimilikinya.
Mari kita dukung segala ikhtiar-ikhtiar positif ini demi masa depan kehidupan
yang lebih baik.
Ulasan
atau komentar :
Menurut
saya apa yang telah dilakukan oleh PT. Djarum Super adalah hal yang sangat
bagus. Karena kita semua tahu bahwa perusahaan yang berdiri sejak 1 Maret 1975 ini, terkenal karena memproduksi rokok bahkan sampai ke
taraf internasional. Dengan menyelenggarakan “Trees For Life”, Djarum Super
sendiri menghimbau kepada masyarakat agar mau dan tetap menjaga kelestarian alam
disekitar, karena bagaimanapun rokok mempunyai andil yang cukup besar dalam
meningkatkan emisi CO2. Itulah yang membuat Djarum Super mempunyai citra yang baik
bukan hanya sebagai sponsor event olahraga atau musik, tapi juga membantu
melestarikan alam.
Contoh
Perusahaan yang berbisnis tanpa etika
TELKOMSEL DAN XL
Salah satu contoh problem etika
bisnis yang marak pada tahun kemarin adalah perang provider celullar antara XL
dan Telkomsel. Berkali-kali kita melihat iklan-iklan kartu XL dan kartu
as/simpati (Telkomsel) saling menjatuhkan dengan cara saling memurahkan tarif
sendiri. Kini perang 2 kartu yang sudah ternama ini kian meruncing dan langsung
tak tanggung-tanggung menyindir satu sama lain secara vulgar. Bintang iklan
yang jadi kontroversi itu adalah SULE, pelawak yang sekarang sedang naik daun.
Awalnya Sule adalah bintang iklan XL. Dengan kurun waktu yang tidak lama
TELKOMSEL dengan meluncurkan iklan kartu AS. Kartu AS meluncurkan iklan baru
dengan bintang sule. Dalam iklan tersebut, sule menyatakan kepada pers bahwa
dia sudah tobat. Sule sekarang memakai kartu AS yang katanya murahnya dari
awal, jujur. Perang iklan antar operator sebenarnya sudah lama terjadi. Namun
pada perang iklan tersebut, tergolong parah. Biasanya, tidak ada bintang iklan
yang pindah ke produk kompetitor selama jangka waktu kurang dari 6 bulan. Namun
pada kasus ini, saat penayangan iklan XL masih diputar di Televisi, sudah ada
iklan lain yang “menjatuhkan” iklan lain dengan menggunakan bintang iklan yang
sama.
Dalam kasus ini, kedua provider
telah melanggar peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip dalam
Perundang-undangan. Dimana dalam salah satu prinsip etika yang diatur di dalam
EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh merendahkan produk
pesaing secara langsung maupun tidak langsung.” Pelanggaran yang dilakukan
kedua provider ini tentu akan membawa dampak yang buruk bagi perkembangan
ekonomi, bukan hanya pada ekonomi tetapi juga bagaimana pendapat masyarakat
yang melihat dan menilai kedua provider ini secara moral dan melanggar hukum
dengan saling bersaing dengan cara yang tidak sehat. Kedua kompetitor ini
harusnya professional dalam menjalankan bisnis, bukan hanya untuk mencari
keuntungan dari segi ekonomi, tetapi harus juga menjaga etika dan moralnya
dimasyarakat yang menjadi konsumen kedua perusahaan tersebut serta harus
mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat.
Ulasan dan komentar :
Menurut saya, apa yang dilakukan
oleh XL dan Telkomsel sudah menyalahi aturan yang ada.
Mungkin dalam pemasaran itu tidak
masalah, karena itu menjadi salah satu strategi perusahaan untuk meningkatkan
kredibilitas dan profit yang melimpah. Tetapi jika dilihat dari kacamata ber-etika
bisnis, mungkin mereka sudah tidak ber-etika lagi. Sebab mereka saling serang –
menyerang dalam menjatuhkan produk lawan, dan itu sudah dianggap melenceng dari
etika bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar